Selasa, 04 September 2007

pancasila

Memperingati Hari Kelahiran Pancasila
"Civil Religion", Piagam Madinah, dan Pancasila
ADALAH Robert N Bellah yang mengemukakan bahwa civil religion bisa menjadi model pengembangan masyarakat plural di masa depan. Di Amerika Serikat yang berpenduduk sangat heterogen, misalnya, semangat agama Kristen Protestan dapat membangkitkan kesadaran akan perlunya hidup berdampingan secara damai sesama pemeluk agama lain. Kata religion di sini tidak menunjukkan pada pengertian agama sebagai sistem kepercayaan atau super-agama dari agama-agama yang ada di negara itu. Namun, menjadi indikator perekat perbedaan dan titik temu (common platform) multiagama. Tegasnya, konstruksi civil religion dapat menjadi paradigma dan acuan terciptanya tatanan masyarakat dunia yang beradab.Dalam sejarah Islam yang hakiki (baca: zaman nabi dan khulafat ur rosidin) konstruksi civil religion ini pernah diterapkan secara ideal dalam bingkai Piagam Madinah (Mitsaq al Madinah). Perjanjian Madinah yang menjadi landasan gerak seluruh masyarakat saat itu merumuskan prinsip-prinsip kesepakatan hidup bersama secara sosial-politik antara kaum Muslimin dan kelompok-kelompok lain. Perjanjian multiagama dan etnis yang diprakarsai Nabi itu mengandung dua prinsip yaitu kesetaraan (equality) dan keterbukaan (inklusivisme).Maka tidak keliru jika Hamidullah (1958) menyebutnya dengan First Written Constitutions in the World karena mendahului usaha civilize bangsa mana pun: American Declaration of Independence (1776), French Revolution (1778); dan The Universal Declaration of Human Rights of the UNO (1948). Penyebutan Piagam Madinah sebagai dasar negara karena tidak jauh bedanya dengan aktivitas dan kreativitas sosial-kemasyarakatan dalam struktur negara modern. Hal ini mengilhami apresiasi Bellah (Beyond Belief) kepada keberhasilan pemerintahan Nabi Muhammad SAW. Sejarah Islam masa Nabi dan khalifah yang empat, kata Bellah, merupakan model pertama sebuah negara nasional (nation state) yang demokratis karena berdiri di atas prinsip partisipasi, persamaan, penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, dan keadilan sosial.Dalam ruang keindonesiaan, Pancasila bisa disebut sebagai civil religion. Sama halnya dengan kata religion pada usulan Bellah, sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" tidak menunjukkan pembelaan pada agama tertentu. Tetapi, bermaksud menegaskan bahwa agama-agama di Indonesia berintikan satu Tuhan, yaitu Yang Maha Esa. Terbukti dengan dihapusnya tujuh kata "kontroversial" dalam Piagam Jakarta yang merupakan bahan mentah Pancasila. Apalagi jika menilik proses kelahiran Pancasila, 1 Juni 1945 (tatkala Soekarno pertama kali mengusulkannya dalam sidang BPUPKI) atau 18 Agustus 1945 (ketika Pancasila dicantumkan dalam UUD 1945) yang berfungsi sebagai kesadaran sosial, maka sangat tepat untuk dijadikan kerangka acuan hidup bersama walaupun berbeda agama.Proses diterimanya Pancasila sebagai falsafah negara oleh the founding fathers negara ini dapat menjadi titik picunya sebab melalui perdebatan panjang dan melelahkan antara kelompok nasionalis Muslim yang menginginkan Islam sebagai dasar negara dan kubu nasionalis sekuler yang menolaknya. Kesepakatan itu menandakan Pancasila sebagai perangkum heteroginitas dan pesinergis kemajemukan sehingga multipluralisme yang ada menjadi khazanah dan kekayaan yang tak ternilai.Di masa Orde Baru, Pancasila sering kali digunakan sebagai legimitator tindakan yang menyimpang. Bahkan, ia menjadi mitos yang dikeramatkan daripada sebagai ideologi yang membebaskan. Wajar jika selama 32 tahun, Pancasila tidak pernah reda dari berbagai gugatan.Tercatat ketika Sidang Umum MPR 1978 ketika rezim tiranik-otoriter Soeharto mengusulkan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dan saat pemerintah mengajukan Pancasila sebagai asas tunggal organisasi massa dan organisasi politik pada tahun 1982.Untuk mengembalikan Pancasila pada nilai hakikinya, dibutuhkan revitalisasi watak, peran, dan fungsinya di tengah setting sosial yang sedang berubah secara dramatis. Tanpa itu, sulit rasanya menempatkan kembali Pancasila pada nilai kesejatiannya. Berarti juga tidak bisa dijadikan sebagai civil religion dan Piagam Madinah ala Indonesia. Maka tidak berlebihan jika dalam wilayah keindonesiaan, kerja sama antarwarga negara dan menghargai kemajemukan beragama diterima umat Islam dengan semangat ukhuwah. Bahwa bukan Pancasila yang telah mengalami distorsi dari maksud dan cita-cita sebenarnya yang dicanangkan para pendiri Republik ini, tetapi kepentingan politik rezim represiflah yang memutarbalikkan orientasi falsafah negara itu.*** MESTI diakui bahwa istilah dan praktik demokrasi berasal dari Barat. Secara historis-sosiologis sistem ini muncul sebagai anti-tesis dari otoritas Gereja. Pada awalnya demokrasi digunakan untuk membebaskan rakyat dari ketergantungan kepada para elite agama sekaligus mengembalikan hak-hak rakyat yang mereka rampas. Wajar jika dalam pemahaman skriptualistik terminologi itu tidak ditemukan dalam Quran-hadits. Hanya saja pendekatan yang kontekstual-implementatif para cendekiawan Muslim sepakat bahwa untuk saat ini demokrasi adalah sistem yang paling dekat dan sangat mungkin dijadikan metode untuk mengaktualisasikan ajaran Islam secara bebas, utuh, dan sistematis di Indonesia.Hal ini didasari oleh tidak jauh bedanya latar belakang kelahiran Islam dan demokrasi. Makanya, beberapa prinsip demokrasi terdapat dalam watak sejati Islam. Kuntowijoyo (1997), misalnya, menyebut kaidah-kaidah demokrasi yang sesuai dengan Islam, saling mengenal (ta'aruf), musyawarah (syura'), menguntungkan umat (mashlahah), kerja sama (ta'awun), adil (adl), dan perubahan (taghyir). Sementara cendekiawan lain menambahkan dengan konsensus (ijma), kebebasan (hurriyah), dan kemerdekaan (istiqlal).Cak Nur, (1999), mengatakan bahwa demokrasi yang harus dikembangkan di Indonesia adalah sistem kehidupan yang merujuk kepada khazanah Islam klasik (al-salaf al-shalih) dengan karakter nasionalisme-partisipatif-egaliter. "Demokrasi yang ditegakkan di Indonesia adalah demokrasi yang dituntun dengan wahyu Illahi... sekalipun demokrasi tidak sempurna, tetapi sistem inilah yang paling dekat dengan Islam," ungkap Amien Rais. Dengan demikian, terdapat benang merah antara sumber rujukan historis Islam dan kepentingan kaum Muslimin Indonesia untuk menerapkan sistem demokrasi. Kesesuaian itu terletak pada substansi keduanya. Benar adanya ucapan Aswab Mahasin, "Tanpa Islam tidak akan ada demokrasi."Perlu ditegaskan bahwa sistem demokrasi Barat yang sekuler dan liberal tidak mungkin diterapkan secara gamblang di Indonesia karena berbenturan dengan kultur dan psikologi mayoritas masyarakat. Patut digarisbawahi pendapat yang mengatakan agama dan demokrasi tidak bisa disatukan serta tidak mempunyai hubungan apa pun, dalam konteks negeri ini tidak berlaku. Sebab agama menempati ruang tersendiri dalam benak dan hati sebagian besar penduduk negeri ini.Dalam perspektif itu, Pancasila bisa dijadikan tawaran alternatif yang menjembatani antara kepentingan agama yang sakral dan demokrasi yang profan di Indonesia. Bukan saja karena kesepakatan para pendahulu bangsa ini, tetapi juga secara tekstual dan kontekstual memuat nilai-nilai yang tidak bertentangan dengan Islam. Dengan begitu, Pancasila tidak dipahami sebagai agama tersendiri yang akan menggantikan posisi Islam. Karena Pancasila dan Islam adalah dua substansi yang berbeda. Yang satu ideologi dan yang lain wahyu Tuhan. Meminjam istilah Kuntowijoyo, Pancasila adalah obyektivikasi Islam dalam konteks Indonesia. Dari eksplorasi di atas, kita bisa simpulkan bahwa sepanjang Pancasila masih menjadi titik temu keberagaman pada bangsa ini, ia adalah epistemologi umat Islam Indonesia. Jadi pekerjaan rumah kaum Muslimin Indonesia ke depan adalah bagaimana melaksanakan ajaran agamanya dengan memakai kaidah-kaidah demokrasi Pancasila.Sebagai catatan akhir perlu ditegaskan bahwa konsep civil religion di Amerika Serikat, Piagam Madinah di Saudi Arabia, dan Pancasila di Indonesia mempunyai substansi yang tidak berbeda. Ketiganya berfungsi sebagai landasan gerak umat beragama agar selalu menghormati pluralisme, menghargai hak-hak warga yang lain, dan mewajibkan para pemeluk agama untuk berpartisipasi-aktif dalam membangun bangsa. Juga memiliki tujuan mulia yang sama, yakni membebaskan manusia dari berbagai belenggu struktural dan kultural. Perbedaannya, terletak pada ruang dan waktu tertentu. Tidak lebih.
Dudi Sabil Iskandar
Koordinator Lingkar Studi Mahasiswa "Menteng"

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda