Selasa, 04 September 2007

life skills di sekolah

Artikel dari http://www.depdiknas.go.id
Implementasi Life Skills dalam Konteks Pendidikan di Sekolah
Oleh Prof Dr H Djam’an Satori MA
[Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia]Abstrak:Artikel ini membahas implementasi life skills dalam konteks pendidikan di sekolah].
Dalam wacana pengembangan kurikulum, life skills merupakan salah satu fokus analisis penting yang selalu dikaji dalam isu relevansi fungsi sosial dan masalah kehidupan kontemporer yang berkembang di masyarakat. Tema life skills memiliki makna yang lebih luas dari employbility atau vocational skills. Dilihat dari pendekatan manajemen pendidikan, implementasi life skills hendaknya difahami dalam konteks School-Based Management, Community-Based Education dan Broad-Based Education. Implementasi life skills sepatutnya menjiwai kurikulum semua jenjang dan jenis sekolah. Namun demikian, dengan memperhatikan misi kelembagaan dan permasalahan yang dihadapinya, implementasi life skills di SLTP dan SMU perlu menjadi prioritas.Kata Kunci: Life Skills, Employability Skills, Vocational Skills, Specific Occupational Skills, School-Based Management, Community-Based Education, Broad-Based Education.1. PendahuluanDalam perspektif sejarah persekolahan, kebermaknaan sekolah selalu dilihat dalam alasan "kehadirannya" sebagai institusi masyarakat, yaitu untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satu kebutuhan tersebut adalah kemilikan kemampuan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat.Dewasa ini, pendidikan di sekolah diberi peranan yang sangat dinamis. Pendidikan semakin diarahkan kepada tujuan-tujuan nasional. Sebagai salah satu diantara "industri" vital negara, pendidikan mengabdikan diri untuk menghasilkan manusia-manusia yang diperlukan bagi kemakmuran bangsa, bahkan memajukan kedudukan bangsa dan negara di dunia yang bersaing. Pernyataan-pernyataan seperti "pendidikan sebagai investasi" atau "pendidikan adalah kunci perubahan" pada dewasa ini sedang memperoleh pengakuan sebagai kebenaran di kalangan para pemimpin negara, para perancang kebijakan, dan para ahli yang menaruh minat dalam proses pembangunan.Salah satu pendekatan untuk memposisikan peran pendidikan di sekolah adalah melihat peran sekolah untuk menolong individu, keluarga, masyarakat, dan negara dalam menjawab permasalahan yang perlu dipecahkan. Salah satu masalah yang dihadapi pada saat ini adalah adanya kenyataan bahwa tidak semua lulusan SLTP dan SMU melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Data tahun 1999/2000 menunjukkan angka sebesar 19,45 persen untuk lulusan SLTP dan sebagian besar (53,12 persen) untuk lulusan SMU (Mendiknas,2001). Kenyataan ini mengundang pemikiran yang serius, karena lulusan SLTP dan SMU pada dasarnya tidak dibekali kecakapan khusus untuk memasuki dunia kerja.Masalah besarnya proporsi lulusan yang tidak melanjutkan sekolah merupakan realitas sosial yang perlu mendapat respon yang tepat. Sekolah perlu mengembangkan alternatif layanan program pendidikan yang mampu memberikan keterampilan untuk hidup (life skills) bagi peserta didiknya. Mereka yang karena sesuatu hal tidak dapat melanjutkan pendidikannya (sebagian besar untuk kasus lulusan SMU) perlu mendapat perhatian extra. Dalam kepentingan inilah Mendiknas (2001) mengangkat gagasan perlu adanya kebijakan pendidikan yang berbasis pada masyarakat luas dengan orientasi kecakapan untuk hidup (Broad-Based Education). Dijelaskan lebih lanjut oleh Mendiknas bahwa pendidikan yang berorientasi pada keterampilan hidup tidak mengubah sistem pendidikan, dan juga tidak untuk mereduksi pendidikan hanya sebagai latihan kerja. Pendidikan yang berorientasi pada keterampilan hidup justru memberikan kesempatan kepada setiap anak untuk meningkatkan potensinya, dan bahkan memberikan peluang pada anak untuk memperoleh bekal keahlian/keterampilan yang dapat dijadikan sebagai sumber penghidupannya.Tulisan ini diharapkan dapat memperkaya wawasan tentang life skills dalam konteks pendidikan di sekolah, khususnya di Sekolah Menengah Umum. Gagasan yang dikembangkan dalam tulisan ini, yaitu peningkatan mutu SMU berwawasan khusus dalam konteks implementasi life skills, diharapkan dapat memberikan alternatif solusi dalam menangani lulusan SMU yang tidak melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.2. Kajian Literatur dan Pembahasan2.1. Konsep Life Skills dalam Pendidikan Sekolah.Konsep life skills di sekolah merupakan wacana pengembangan kurikulum yang telah lama menjadi perhatian para pakar kurikulum (Tyler 1949; Taba,1962; Saylor, et.al.; 1983; Print,1993). Life Skills merupakan salah satu fokus analisis dalam pengembangan kurikulum pendidikan sekolah yang menekankan pada kecakapan atau keterampilan hidup atau bekerja. Dalam kajian pengembangan kurikulum, isu tersebut dibahas dalam pendekatan studies of contemporary life outside the school atau curriculum design focused on social functions/activities. Dalam pendekatan kurikulum tersebut, pengembangan life skills harus dipahami dalam konteks pertanyaan berikut:Kemampuan (life skills) apa yang relevan dipelajari anak di sekolah; atau dengan kata lain kemampuan apa yang mereka harus dikuasai setelah menyelesaikan satuan program belajar tertentu.Bahan belajar apa yang harus dipelajari sehingga ada jaminan bagi anak bahwa dengan mempelajarinya mereka akan menguasai kemampuan tersebut.Kegiatan dan pengalaman belajar seperti apa yang harus dilakukan dan dialami sendiri oleh anak sehingga ia menguasai dengan sesungguhnya kemampuan-kemampuan yang perlu dikuasai.Fasilitas, alat, dan sumber belajar bagaimana yang perlu disediakan untuk mendukung kepemilikan kemampuan-kemampuan yang diinginkan tersebut.Bagaimana cara untuk mengetahui bahwa anak didik benar-benar telah menguasai kemampuan-kemampuan tersebut. Bentuk jaminan apa yang dapat diberikan sehingga anak-anak mampu menunjukkan kemampuan itu dalam kehidupan nyata di masyarakat.Life skills memiliki makna yang lebih luas dari employability skills dan vocational skills. Keduanya merupakan bagian dari program life skills. Brollin (1989) menjelaskan bahwa life skills constitute a continuum of knowledge and aptitudes that are necessary for a person to function effectively and to avoid interupptions of employment experience. Dengan demikian life skills dapat dijelaskan sebagai kecakapan untuk hidup. Pengertian hidup di sini, tidak semata-mata memiliki kemampuan tertentu saja (vocational job), namun ia harus memiliki kemampuan dasar pendukungnya secara fungsional seperti membaca, menulis, menghitung, merumuskan, dan memecahkan masalah, mengelola sumber-sumber daya, bekerja dalam tim atau kelompok, terus belajar di tempat bekerja, mempergunakan teknologi, dan lain sebagainya.Sumber-sumber lain yang diakses dari internet menunjukkan pengertian yang sejalan. Pengertian yang dipandang cukup mewakili adalah life skills are skills that enable a person to cope with the stresses and challenges of life. (http://www.usoe.k.12.ut.us/curr/lifeskills/). Life skills atau keterampilan hidup dalam pengertian ini mengacu pada berbagai ragam kemampuan yang diperlukan seseorang untuk menempuh kehidupan dengan sukses, bahagia dan secara bermartabat di masyarakat. Life skills merupakan kemampuan yang diperlukan sepanjang hayat, kepemilikan kemampuan berfikir yang kompleks, kemampuan komunikasi secara efektif, kemampuan membangun kerja sama, melaksanakan peranan sebagai warga negara yang bertanggung jawab, memiliki kesiapan serta kecakapan untuk bekerja, dan memiliki karakter dan etika untuk terjun ke dunia kerja. Oleh karenanya, cakupan life skills amat luas seperti communication skills, decision-making skills, resource and time-management skills, and planning skills. Pengembangan program life skills pada umumnya bersumber pada kajian bidang-bidang berikut: (1) The World of Work, (2) Practical Living Skills, (3) Personal Growth and Management, dan (4) Social Skills.Employability skills mengacu kepada satu set (serangkaian) keterampilan yang mendukung seseorang untuk menunaikan pekerjaannya supaya berhasil. Employability skills terdiri dari 3 (tiga) gugus keterampilan, yaitu: (1) Keterampilan Dasar, (2) Keterampilan berfikir tingkat tinggi, dan (3) Karakter dan Keterampilan Afektif. Keterampilan dasar terdiri dari (a) kecakapan berkomunikasi lisan (berbicara dan mendengar/menyimak), (b) membaca (khususnya mengerti dan dapat mengikuti alur berfikir), (c) penguasaan dasar-dasar berhitung, dan (d) terampil menulis. Keterampilan berfikir tingkat tinggi mencakup (a) pemecahan masalah, (b) strategi dan keterampilan belajar, (c) berfikir inovatif dan kreatif, serta (d) membuat keputusan. Karakter dan keterampinan afektif mencakup (a) tanggung jawab; (b) sikap positif terhadap pekerjaan; (c) jujur, hati-hati, teliti dan efisien; (d) hubungan antarpribadi, kerjasama dan bekerja dalam tim, (e) Percaya diri dan memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, (f) penyesuaian diri dan fleksibel, (f) penuh antusias dan motivasi, (g) disiplin dan penguasaan diri, (h) berdandan dan berpenampilan menarik, (i) Jujur dan memiliki integritas, serta (j) mampu bekerja mandiri tanpa pengawasan.Apabila dihubungkan dengan pekerjaan tertentu, employability skills ditunjukkan pada penguasaan vocational skills, yang intinya terletak pada penguasaan specific occupational job, yaitu keterampilan khusus untuk melakukan pekerjaan tertentu. Keterkaitan di antara life skills, employability skills, vocational skills dan specific occupational skills dapat digambarkan dalam model berikut:Dari model di atas dapat dipahami bahwa pengembangan life skills dalam konteks pendidikan di sekolah sepatutnya difokuskan pada penguasaan specific occupational skills (keterampilan pekerjaan tertentu/spesifik). Jadi, program tersebut merupakan elaborasi yang dengan sendirinya dijiwai oleh pemaknaan life skills, employability skills, dan vocational skills. Apabila dipahami dengan baik, maka dapat dikatakan bahwa life skills dalam konteks kepemilikan specific occupational skills sesungguhnya diperlukan oleh setiap orang. Ini berarti bahwa pengembangan program life skills dalam pemaknaan tersebut di atas sepatutnya menyatu dengan program pendidikan di sekolah. Dengan demikian, dalam konsep pendidikan di sekolah, semua anak yang dinyatakan telah menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu sepatutnya telah memiliki life skills. Dalam pendidikan sekolah di Indonesia, masalah tersebut sangat relevan jika dikaitkan dengan kelompok lulusan SLTP dan SMU yang tidak melanjutkan sekolah. Pengembangan program life skills pada jenjang tersebut diharapkan dapat menolong mereka untuk memiliki harga diri dan kepercayaan diri dalam mencari nafkah dalam konteks peluang yang ada di lingkungan masyarakatnya.2.2. School-Based Management, Community-Based Education, dan Broad-Based Education dalam konteks Pengembangan Life Skills.Pada dewasa ini ada 3 (tiga) konsep yang sedang menjadi wacana dalam pengembangan pendidikan di Indonesia, yaitu School-Based Management, Community-Based Education, dan Broad-Based Education. School-Based Management merupakan gagasan yang menempatkan kewenangan pengelolaan sekolah sebagai satu entitas sistem. Dalam format ini, kepala sekolah dan guru-guru sebagai kelompok profesional, dengan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya (stakeholder sekolah), dianggap memiliki kapasitas untuk memahami kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan yang dihadapi sekolah dalam upaya mengembangkan program-program sekolah yang diinginkan sesuai dengan visi dan misi sekolah. Community-Based Education adalah satu gagasan yang menempatkan orientasi penyelenggaraan pendidikan pada lingkungan kontekstual (ciri, kondisi dan kebutuhan masyarakat) dimana kelembagaan pendidikan itu berada. Orientasi pengembangan program sekolah hendaknya merefleksikan ciri, sifat, dan kebutuhan masyarakat. Broad-Based Education adalah pendidikan berbasis masyarakat luas, yaitu kebijakan penyelenggaraan pendidikan yang diperuntukan bagi kepentingan lapisan masyarakat terbesar. Sifat dasar yang menonjol dari lapisan masyarakat terbesar adalah pendidikan yang menekankan kecakapan atau keterampilan hidup atau bekerja. Atau, secara teknis filosofis orientasi pendidikan mereka kepada life skills. Di New Zealand gagasan seperti ini direfleksikan menjadi motto sebuah college, yaitu young men taking their place in the world, yang menekankan pada pentingnya kemampuan Future Problem Solving, kejelasan Vocational Pathways, dan penyelenggaraan belajar dengan pendekatan Integrated Curriculum (http//www.nelcollege.schoolnz). Gagasan ini sangat beralasan, sebab sesungguhnya secara umum perkembangan peradaban ekonomi masyarakat dewasa ini telah menuntut kesanggupan sekolah memiliki pertautan yang jelas dengan tuntutan masyarakat luas dan dunia kerja. Paradigma school to work harus melandasi segenap kegiatan pendidikan.Apabila dicermati, ketiga gagasan yang dijelaskan di atas memiliki titik temu, yaitu bagaimana menyelenggarakan pendidikan di sekolah yang dapat memenuhi kebutuhan sebagian besar masyarakat pengguna, dengan memperhatikan ciri, sifat, dan kebutuhan masyarakatnya, sementara pengelolaan sekolah mampu mengakomodasi kepentingan tersebut dengan cara melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan dengan sekolah, yang direfleksikan dalam visi, misi, dan program-program strategisnya. Dalam kondisi seperti itu, di samping tetap melayani program-program akademiknya, sekolah harus mampu pula menyediakan paket-paket atau program-program pembelajaran yang dapat memberikan jaminan kepemilikan life skills yang diorientasikan pada penguasaan specific occuvational skills. Program ini diharapkan memberi manfaat plus bagi anak didik yang karena sebab tertentu tidak dapat mengikuti jenjang pendidikan yang lebih lanjut. Keterkaitan ketiga konsep tersebut dengan posisi pengembangan life skills dapat digambarkan sebagai berikut:Diagram/Gambar 2Posisi pengembangan life skills dalam pengembangan gagasanSchool-Based Management, Community-Based EducationDan Broad-Based Education2.3. Pengembangan SMU Berwawasan Khusus dalam Konteks Penerapan Life SkillsPada saat ini penulis bersama satu tim konsultan mendapat kepercayaan dari Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Dirjen Dikdasmen untuk mengembangkan Pola Induk Pengembangan Model Penyelenggaraan Sekolah Menengah Umum Berwawasan Khusus. Penyelenggaraan SMU yang berwawasan khusus (plus penguasaan keterampilan tertentu – specific occupational skills) dimaksudkan untuk memberikan keterampilan hidup tertentu pada siswa yang disesuaikan dengan potensi daerah, bakat, dan pilihan hidup yang terkait dengan bidang studi tertentu di SMU. Program bersifat intra dan ekstra kurikuler sehingga siswa diberi keleluasaan untuk memilih sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya. Apabila diposisikan dalam makna life skills, maka program ini merupakan aspek dari pengembangan life skills.Secara kelembagaan, posisi penting SMU adalah mempersiapkan anak didik untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Dalam kenyataannya, seperti telah disebutkan di bagian depan, hanya sebagian saja lulusan SMU (46,9 persen) yang melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi (Mendiknas, 2001). Ini berarti bahwa sebagian besar lulusan SMU tidak dapat melanjutkan pendidikan mereka ke perguruan tinggi. Dapat diduga bahwa lulusan SMU yang tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi tersebut masuk ke dunia kerja tanpa bekal yang cukup untuk bekerja. Ketidaklanjutan tersebut diyakini disebabkan oleh banyak faktor. Namun demikian, faktor sosial ekonomi keluarga tampaknya menjadi sebab utama. Hasil penelitian Majelis Pendidikan Tinggi, Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2001) menunjukkan bahwa pengembangan pendidikan kewirausahaan lebih diminati oleh siswa yang latar belakang pekerjaan orang tuanya masuk dalam kategori kelas menengah ke bawah. Jika kelompok lulusan SMU yang tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi tersebut berasal dari kelompok keluarga demikian, maka masalahnya adalah bagaimana mencari pemecahan yang tepat tanpa mengubah misi kelembagaan SMU sendiri.Pengembangan SMU berwawasan khusus (yang berorientasi pada pengembangan life skills) tidak mengubah sistem pendidikan SMU, dan juga tidak untuk mereduksi pendidikan hanya sebagai latihan kerja. Program ini tetap menempatkan SMU sebagai lembaga pendidikan yang mengembangkan program-program akademik sesuai dengan misi SMU mempersiapkan anak-anak untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. SMU berwawasan khusus yang akan dikembangkan justru memberikan kesempatan kepada setiap anak untuk meningkatkan potensinya, dan bahkan memberikan peluang pada anak untuk memperoleh bekal keterampilan/keahlian yang dapat dijadikan sebagai sumber penghidupannya, terutama bagi mereka yang karena sesuatu hal tidak dapat melanjutkan pendidikannya. Pengembangan SMU yang berorientasi keterampilan hidup tidak dimaksudkan untuk mendikte sekolah, tetapi hanya menawarkan berbagai kemungkinan atau menu yang dapat dipilih sesuai dengan situasi dan kondisi riil sekolah, baik ditinjau dari keberadaan murid-muridnya maupun kehidupan masyarakat sekitar. Pengembangan SMU berwawasan khusus pun tidak dimaksudkan untuk menyaingi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang memiliki misi khusus menyiapkan lulusannya untuk menguasai kemampuan kejuruan untuk terjun ke dunia kerja. Dalam pelaksanaan program ini, SMK dapat menjadi mitra dalam melayani penyediaan paket programnya melalui program kemitraan (partership). Bahkan dalam pengembangan program ini, dunia kerja dan industri dapat bekerja sama melalui program "outsourcing".Pengembangan SMU berwawasan khusus ini dikembangkan melalui (1) pemberdayaan dan pemanfaatan potensi lokal seoptimal mungkin, (2) pemberian peluang/fleksibilitas terhadap sekolah dalam pemilihan dan pelaksanaan pembelajaran keterampilan tertentu, serta (3) pemberdayaan unit-unit terkait dalam penyiapan dan pengembangan kurikulum muatan lokal yang berpijak pada perkembangan jaman dan teknologi modern. Orientasi pembelajaran menggunakan prinsip learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to life together secara harmonis.Pengembangan SMU yang berwawasan khusus dikembangkan melalui tahapan sebagai berikut:Tahun 2001. Studi kelayakan tentang penyusunan dan pengembangan pola induk model penyelenggaraan SMU berwawasan khusus sejumlah 8 (delapan) model yaitu: Ilmu-ilmu Dasar, Keterampilan, Seni, Bahasa Asing, Lingkungan Hidup, Teknologi Informatika, Kepribadian dan Budi Pekerti, dan Olah Raga Prestasi.Tahun 2002. Penyebarluasan/sosialisasi dan perintisan pada beberapa sekolah.Tahun 2003. Implementasi/pelaksanaan program.Kegiatan yang ditangani oleh Tim Kerja (penulis bersama Tim Konsultan) adalah pengembangan tahap pertama (butir no.1). Kegiatan ini terdiri dari dua kegiatan, yaitu (1) Penyusunan Naskah Pola Induk Pengembangan Model SMU Berwawasan Khusus, dan (2) Sosialisasi Model SMU Berwawasan Khusus.2.3.1.Tahapan Penyusunan Naskah Pola IndukPenyusunan Naskah Pola Induk dilakukan melalui tahapan kegiatan sebagai berikut:Pertama, penetapan jenis penyelenggaraan model SMU berwawasan khusus yang akan dikembangkan pola induk penyelenggaraannya. Berdasarkan analisis kebutuhan sementara, dikembangkan 8 (delapan) model SMU berwawasan khusus yang terdiri dari:Model SMU Berwawasan Ilmu-Ilmu Dasar.Model SMU Berwawasan Keterampilan.Model SMU Berwawasan Seni.Model SMU Berwawasan Bahasa Asing.Model SMU Berwawasan Lingkungan Hidup.Model SMU Berwawasan Teknologi Informatika.Model SMU Berwawasan Kepribadian.Model SMU Berwawasan Oleh Raga Prestasi.Kedua, melakukan berbagai studi kepustakaan (literatur) dan dokumen tentang pengembangan SMU yang memiliki keunggulan khusus. Sumber-sumber yang dikaji berkaitan dengan tema comprehensive high school, vocational high school, life skills, vocational skills, dan employability skills.Ketiga, penetapan substansi pokok dokumen pola induk pengembangan model SMU berwawasan khusus untuk setiap dokumen model SMU yang dikembangkan.Keempat, melakukan studi lapangan ke SMU yang telah memiliki kelebihan khusus atau keunggulan khusus dalam bidang-bidang yang akan dijadikan model pengembangan SMU. Studi lapangan ini dilakukan ke SMU yang dijadikan referensi praktek sebagai berikut :SMU Muhammadiyah Plus, Medan (Bidang Bahasa Asing);SMUN 11 Yogyakarta (Bidang Seni );MAN Jember, Jawa Timur (Bidang Ketrampilan);SMUN 23 Bandung (Bidang Lingkungan Hidup);SMU Regina Pacis, Bogor (Bidang Ilmu-Ilmu Dasar);SMUN Sewon, Bantul (Bidang Teknologi Informatika);SMU Muttahari, Bandung (Bidang Kepribadiandan Budi Pekerti);SMUN 3 Jakarta (Bidang Olahraga Prestasi).Yang menjadi dasar pemilihan sekolah-sekolah tersebut sebagai referensi empirik adalah hasil pengamatan yang menunjukkan bahwa orientasi wawasan khusus tersebut telah dilaksanakan secara sungguh-sungguh sebagai bagian dari program sekolah atas prakarsa sekolah masing-masing. Oleh karena itu, perlu dikemukakan di sini bahwa pengembangan Model SMU Berwawasan Khusus ini bukanlah praktek yang sama sekali baru. "Mutiara" ide tersebut sesungguhnya telah dilaksanakan di beberapa sekolah (diantaranya yang dijadikan referensi dalam studi ini). Studi ini mencoba mengembangkan model dengan cara mempelajari secara sistemik apa yang telah dilakukan , mengkaji berbagai pengalaman lainnya dari berbagai sumber, disertai pula kajian akademik dari sumber pustaka.Kelima, menyusun draft (buram) awal pola induk model penyelenggaraan SMU yang berwawasan khusus sesuai dengan substansi yang dikembangkan seperti dijelaskan di atas berdasarkan hasil studi kepustakaan dan studi lapangan ke SMU referensi yang dipilih untuk masing-masing model;Keenam, melakukan seminar dan lokakarya pembahasan buram yang dihasilkan tim pengembang dengan melibatkan para pakar yang relevan, praktisi lapangan (Kepala Sekolah, Guru, dan Pengawas SMU), maupun pejabat dari unit-unit utama kantor pusat Departemen Pendidikan Nasional. Kegiatan serupa dilakukan untuk menyempurnakan buram naskah pola induk model penyelenggaraan SMU berwawasan khusus sesuai dengan saran/usul/pendapat yang berkembang dalam seminar, diskusi, dan lokakarya yang diselenggarakan. Naskah akhir dinyatakan diterima setelah memenuhi spesifikasi seperti ditetapkan dalam naskah kesepakatan, dalam hubungannya dengan kebijakan Depdiknas, kapasitas profesional dan kapasitas akademik.2.3.2. Sosialisasi Model SMU Berwawasan KhususKegiatan ini dimaksudkan untuk memperkenalkan Model Penyelenggaraan SMU Berwawasan Khusus kepada para Kepala Dinas Pendidikan Daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota) dan Kepala Sekolah yang sekolahnya memenuhi kriteria untuk melaksanakan model yang akan dikembangkan. Kegiatan sosialisasi ini meliputi:Melakukan lokakarya untuk menetapkan kriteria SMU yang akan dijadikan pilot proyek ujicoba model penyelenggaraan SMU berwawasan khusus untuk tahun ajaran 2001/2002 bersama pihak Direktorat SMU, Dirjen Dikdasmen, Jakarta.Melakukan konsultasi dengan pihak Pemda/Dinas Pendidikan Propinsi dan Kabupaten/Kota tertentu untuk pelaksanaan ujicoba model SMU berwawasan khusus di beberapa SMU yang memenuhi kriteria yang ditetapkan;Bersama pihak Direktorat PMU dan Dinas Pendidikan Propinsi/Kabupaten/ Kota terkait memilih dan menetapkan SMU yang akan dijadikan proyek ujicoba model berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan;Melaksanakan "in-house training" sebagai pembekalan dan sosialisasi model SMU berwawasan khusus bagi para KS dan Guru SMU yang akan dijadikan proyek ujicoba (piloting) model penyelenggaraan SMU berwawasan khusus di sekolah yang telah terpilih. Sesuai dengan perencanaan yang telah disusun, Piloting Model SMU Berwawasan Khusus dilaksanakan tahun 2002.3. PenutupSebagai institusi pendidikan, sekolah sepatutnya memiliki kapasitas sebagai "a place for better learning". Sebutan tersebut sangat beralasan karena sekolah dirancang untuk menyelenggarakan pendidikan dengan spesifikasi persyaratan yang mengikat. Dalam kondisi seperti itu, maka penguatan akuntabilitas sekolah sepatutnya dikaitkan dengan kepentingan bagaimana penyelenggaraan program-program pendidikan yang ditawarkannya dapat memenuhi kebutuhan sebagian besar masyarakat pengguna. Dalam kondisi seperti itu, di samping sekolah tetap melayani program-program akademiknya, sekolah harus mampu menyediakan paket-paket atau program-program pembelajaran yang dapat memberikan jaminan kepemilikkan "life skills" yang diorientasikan pada penguasaan "specific occuvational skills". Kemampuan tersebut diperlukan oleh setiap anak sekolah. Namun demikian, SMU tampaknya memiliki posisi prioritas. Pengembangan Model SMU Berwawasan Khusus, yang pada esensinya dijiwai oleh pengembangan "life skills" diharapkan dapat menolong sebagian besar lulusan SMU yang tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi untuk memiliki keterampilan hidup tertentu sesuai dengan potensi daerah, bakat, minat dan pilihan hidupnya. Pengembangan program seperti ini memerlukan kerjasama dengan orang tua siswa, masyarakat sekitar, dunia kerja dan pihak yang berkepentingan lainnya. Pengalaman empirik menunjukkan bahwa keberhasilan penyelenggaraan program seperti itu, di samping didukung oleh fasilitas, guru-guru yang berdedikasi, dan dukungan kepemimpinan pendidikan setempat (Dinas Pendidikan Daerah), peranan kepala sekolah sangat menentukan atas keberhasilan penyelenggaraan program.Pustaka AcuanBrolin,D.E. 1989. Life-Centered Career Education : A Competency-Based Approach (3rd Ed.). Reston VA : The Council for Exceptional Childrenhttp://www.vsoc.k.12.ut.us/curr/lifeskills.http://www.nelcollege.schoolnz.Hilda Taba. 1962. Curriculum Development, Theory and Practice. San Fransisco College.Majelis Pendidikan Tinggi, Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 2001. Studi Kebijakan Kewirausahaan dan Bakat Prestasi. Proyek Pembinaan Kesiswaan dan Wawasan Keilmuan. Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Ditjen Dikdasmen, Depdiknas.Menteri Pendidikan Nasional. 2001. Laporan Menteri Pendidikan Nasional pada Rapat Koordinasi Bidang Kesra Tingkat Menteri, Tanggal 19 September 2001.Print, Murray. 1993. Curriculum Development and design. Allen and Unwin, Australia.Saylor, J.Galen at.al. 1983. Curriculum Planning for Better Teaching and Learning. Holt Saunders International Edition.Tyler, Ralph W. 1947. Basic Principles of Curriculum and Instruction. The University of Chicago Press.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda