Selasa, 04 September 2007

wanita & seks

Wanita, Seksualitas & Budaya Mediaoleh Arief Gunawan SR, Pengamat dan Pekerja MediaSebuah diskursus tentang masyarakat modern sekaligus postmodern menjadi tema menarik ketika menyentuh persoalan seksualitas yang lahir dan berkembang dalam budaya media.Setiap hari dan setiap saat kita disuguhi oleh tontonan dan bacaan beraroma seksualitas yang ditemukan dengan bebas dalam iklan, sinetron, film, majalah sampai video klip. Fenomena seksualitas dalam budaya media merupakan penanda dari kreativitas pekerja media untuk membentuk citra sosial. Bahwa seksualitas adalah energi tanpa batas dari media yang menutup rasa kebosanan. Dalam sejarah seksualitas manusia, pentabuan merupakan jalan terbaik untuk membungkam seks. Tapi sebagai komoditas, seksualitas adalah energi yang selalu mengalami transformasi terus-menerus dalam historisitas kemanusiaan.
Apa sebenarnya yang melatarbelakangi sehingga seksualitas hidup subur dalam budaya media? Untuk menganalisis fenomena tersebut, wacana tentang “tubuh” memiliki posisi penting sebagai objek analisis penanda sosial dalam permainan pencitraan.
Erotisme Tubuh
Tubuh bisa dinilai sebagai alat pertukaran dalam masyarakat modern (konsumsi), sebab dalam realitas masyarakat konsumsi, tubuh merupakan sesuatu yang patut dimanjakan. Tubuh dierotiskan untuk menunjukkan daya tariknya, sehingga menjadi kendaraan iklan.
Mengapa misalnya seorang wanita resah dengan bentuk tubuhnya? Tentu dilatarbelakangi oleh tuntutan budaya yang sebagian besar dibentuk oleh media, bahwa kecantikan seorang wanita hanya ditemukan pada tubuh yang berkulit putih, halus, langsing dan beberapa bagian tubuh yang sengaja ditonjolkan. Sikap pemujaan terhadap tubuh sebenarnya adalah pemujaan terhadap seksualitas itu sendiri, sebab seksualitas ditemukan dalam tubuh yang dierotiskan, di mana energi libido dirangsang.Tak dipungkiri bahwa wanita dalam budaya media memegang otoritas penting. Diklaim bahwa terjadi upaya feminisasi media melalui objektifikasi tubuh wanita.
Mengapa mesti wanita? Sebab wanita adalah kekuatan produksi sekaligus konsumen aktif yang selalu resah oleh kekurangan identitas diri atau citra diri. Bisa dikatakan bahwa seksualitas merupakan kunci dari masyarakat konsumsi. Produk yang dicitrakan melalui media dominan melalui kendaraan seksualitas sehingga lambat laun kemungkinan masyarakat akan terjangkit budaya seks. Di mana-mana seks menjadi tema utama mulai dari iklan produk sabun mandi sampai produk otomotif.Tubuh merupakan sebuah media tempat segala macam aksesoris melekat. Tubuh dibentuk, dimanipulasi, oleh tuntutan budaya media.
Media menjadi cermin identitas perempuan, tempat dimana wanita merasakan dirinya sebagai subjek, bagian dari kultur global. Sikap pemujaan terhadap tubuh bisa dilacak sampai kisah Narcissus dalam dongeng Yunani yang cinta pada gambarnya sendiri.Seperti Narcissus begitulah wanita terlibat dalam perilaku neurotik, di mana kecintaan berlebihan terhadap tubuhnya. Memaksa kita untuk bertanya, mengapa seksualitas wanita ditonjolkan dalam budaya media? Apakah ini disebabkan oleh relasi yang timpang (ketidakadilan gender) antara pria dan wanita?
Saya bahkan berfikir bahwa ini disebabkan oleh ide cinta diri (Narcisme) di mana wanita memuja tubuhnya sendiri dan ingin dipuja dalam tampilan media.Kita diserang dari berbagai sisi oleh “pornografi informasi dan komunikasi”, sehingga seksualitas menjadi alat pertukaran sosial. Secara sosiologis budaya seksualitas akan membentuk seperti apa yang diklaim oleh Baudrillard sebagai “Nalar Seksual”. Maka, benteng norma etik yang terbangun dan terpelihara hancur lebur oleh serangan “budaya massa”. Sebagai massa, manusia bisa digambarkan sebagai segerombolan besar massa partai dengan baju dan keinginan yang sama, nyaris tak terbedakan, bisa diarahkan ke mana saja dan nyaris dibelenggu dalam kesadaran yang sama.
Pertahanan Terakhir
Bagaimana seharusnya hubungan wanita dengan media? Siapakah yang menguasai media? Adalah pertanyaan yang cukup pelik untuk dijawab secara tergesa-gesa tanpa analisis multiperspentif. Kaum pejuang feminisme seperti Luce Irigaray, Julia Kristeva dan sederet nama lainnya, mengajukan kritik pada ide phalosentrisme, di mana ide phallus merupakan kekuatan simbolik yang mendasari seluruh identitas dalam dunia bahasa dan wacana yang represif tak terkecuali dalam budaya media. Artinya, bahasa dan wacana dalam media tidaklah bersifat patriarkal, seperti yang banyak diklaim oleh para teorisasi dan pengamat media.
Bahkan mempertanyakan tentang ruang patriarkal media menurut saya tidak relevan lagi, atau melakukan pemetaan yang kejam antara rasionalitas pria dan irrasionalitas wanita.Pria dan wanita menurut saya hanya memiliki metode-meminjam istilah Wittgenstein-permainan bahasa (language games) dan rasionalitas yang berbeda. Tidak bisa disubordinasikan antara satu dengan lainnya. Jika wanita menguasai media dengan sensualitas tubuh, seperti itulah rasionalitasnya, dan ini hanyalah persoalan kesempatan. Tentu hasil akhir studi kita bisa berujung pada ide dasar tentang “kekuasaan wanita” (matriak) bukan “kekuasaan pria” (patriarkat).
Norma etik agama sebagai benteng pertahanan terakhir untuk membendung arus budaya seksualitas media harus bekerja ekstra keras. Ketika popularitas media televisi mengalahkan bahkan menggantikan fungsi agama sebagai penyedia nilai bagi masyarakat. Wanita seharusnya tampil di media dalam bungkusan “rasionalitas nilai” yang mengedepankan nilai-nilai etis, estetis dan religius, bukan dengan “rasionalitas tujuan” yang mementingkan cara-cara mencapai tujuan dan mengindahkan nilai-nilai yang dikhayati sebagai intisari kesadaran.
Kita sering terjebak oleh idiom “modernisasi” sebagai intisari kemajuan, padahal modernitas menunjuk pada perubahan sosial dan budaya secara masif dan pemutusan secara radikal terhadap tradisi.Terakhir, bahwa media bukanlah ruang yang netral, di mana beragam kepentingan saling berebut pengaruh. Kuasa ada dimana-mana tak terkecuali dalam tubuh dan seksualitas wanita

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda