fatiha
Jumat, 05 Juni 2009
Selasa, 02 Juni 2009
Selasa, 19 Februari 2008
selingan
umi nur fatiha jmenjadi ibu bagi putera-puteri tercinta adalah mulia
menguatkan suami membangun kerajaan keluarga akan berbuah cita/cinta
Kamis, 13 September 2007
kurikulum 2010
http://www.tempointeraktif.com
Menyongsong Kurikulum Pendidikan 2009/2010
Kamis, 31 Agustus 2006 11:24 WIB
Razali Ritonga
TEMPO Interaktif, Jakarta:Di tengah keprihatinan akan kualitas pendidikan kita saat ini, tim Olimpiade Fisika kita di Singapura beberapa waktu yang lalu berhasil mengukir prestasi yang sangat menakjubkan. Indonesia memperoleh empat emas dan satu perak serta salah satu di antara empat medali emas itu memperoleh nilai mutlak (the absolute winner). Pencapaian itu membukukan Indonesia sebagai juara dunia Olimpiade Fisika Internasional 2006.
Prestasi Indonesia dalam ajang olimpiade itu dapat dipandang sebagai salah satu wujud visi pendidikan berkualitas dan hal itu berlaku secara universal. Setiap negara menginginkan prestasi serupa. Namun sayang, tanpa mengurangi rasa hormat kita kepada mereka yang ikut berlomba, pencapaian prestasi itu belum bisa merefleksikan kondisi pendidikan di Tanah Air yang sebenarnya.
Razali Ritonga, PEJABAT BADAN PUSAT STATISTIK
Menyongsong Kurikulum Pendidikan 2009/2010
Kamis, 31 Agustus 2006 11:24 WIB
Razali Ritonga
TEMPO Interaktif, Jakarta:Di tengah keprihatinan akan kualitas pendidikan kita saat ini, tim Olimpiade Fisika kita di Singapura beberapa waktu yang lalu berhasil mengukir prestasi yang sangat menakjubkan. Indonesia memperoleh empat emas dan satu perak serta salah satu di antara empat medali emas itu memperoleh nilai mutlak (the absolute winner). Pencapaian itu membukukan Indonesia sebagai juara dunia Olimpiade Fisika Internasional 2006.
Prestasi Indonesia dalam ajang olimpiade itu dapat dipandang sebagai salah satu wujud visi pendidikan berkualitas dan hal itu berlaku secara universal. Setiap negara menginginkan prestasi serupa. Namun sayang, tanpa mengurangi rasa hormat kita kepada mereka yang ikut berlomba, pencapaian prestasi itu belum bisa merefleksikan kondisi pendidikan di Tanah Air yang sebenarnya.
Razali Ritonga, PEJABAT BADAN PUSAT STATISTIK
kurikulum MI
Media Indonesia, Rabu, 04 Oktober 2006
KURIKULUM pendidikan Indonesia rupanya terus ditakdirkan berada dalam dunia yang berbeda. Dunia ideal untuk memperbaiki mutu pendidikan dan tataran praksis yang justru menghasilkan kenyataan sebaliknya. Dari sudut pandang pemerintah, kurikulum sering dianggap seperti ‘mantra baru’, sementara publik justru menganggapnya sebagai ‘petaka baru’.
Kurikulum sering dinilai tidak hanya menjadi momok, tetapi juga mengganggu dunia pendidikan. Pendidikan kita seperti disandera oleh sistem kurikulum yang tak kunjung menghasilkan apa yang ada dalam cita-cita ideal kita.
Seperti juga sekarang telah muncul Kurikulum 2006 atau kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Ia merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 2004. Kurikulum yang sesungguhnya belum sepenuhnya dilaksanakan. Bahkan, di beberapa sekolah masih ada yang melaksanakan Kurikulum 1994.
Seperti yang sudah-sudah, munculnya kurikulum baru itu juga disambut kontroversi. Ada yang optimistis dan juga sebaliknya. Yang optimistis berkeyakinan KTSP akan mampu mengatasi mandulnya kreativitas guru karena kurikulum itu dibuat oleh sekolah, oleh para guru. Sekolahlah sebagai penentu pendidikan, bukan pemerintah pusat. Kini sekolah dan komite sekolah harus bermitra mengembangkan kurikulum sendiri.
Diambil dari http://opini.wordpress.com/tag/kurikulum-pendidikan/
Kurikulum sering dinilai tidak hanya menjadi momok, tetapi juga mengganggu dunia pendidikan. Pendidikan kita seperti disandera oleh sistem kurikulum yang tak kunjung menghasilkan apa yang ada dalam cita-cita ideal kita.
Seperti juga sekarang telah muncul Kurikulum 2006 atau kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Ia merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 2004. Kurikulum yang sesungguhnya belum sepenuhnya dilaksanakan. Bahkan, di beberapa sekolah masih ada yang melaksanakan Kurikulum 1994.
Seperti yang sudah-sudah, munculnya kurikulum baru itu juga disambut kontroversi. Ada yang optimistis dan juga sebaliknya. Yang optimistis berkeyakinan KTSP akan mampu mengatasi mandulnya kreativitas guru karena kurikulum itu dibuat oleh sekolah, oleh para guru. Sekolahlah sebagai penentu pendidikan, bukan pemerintah pusat. Kini sekolah dan komite sekolah harus bermitra mengembangkan kurikulum sendiri.
Diambil dari http://opini.wordpress.com/tag/kurikulum-pendidikan/
sejarah
Kompas, Selasa, 14 November 200, http://www.kompas.com
Sejarah, Memahami Masa Kini dan Melihat Masa Depan
Laporan Wartawan KCM Jodhi Yudono
JAKARTA, KCM - Konferensi Nasional Sejarah VIII yang diselenggarakan di Hotel Milenium, Jakarta, Selasa (14/11), menyajikan dua pembicara inti yakni Prof Dr Taufik Abdullah dan Prof Dr Azyumardi Azra.
Konferensi yang diadakan setiap lima tahun sekali ini merupakan ajang pertemuan dan forum diskusi yang melibatkan para sejarawan, pengamat sejarah, pelaku sejarah, praktisi sejarah, dan pencinta sejarah untuk melakukan evaluasi the state of the art dari ilmu sejarah.
Pada dasarnya tema yang dibahas dalam konferensi ini disesuaikan dengan perkembangan ilmu sejarah, situasi atau keadaan yang sedang dihadapi dan kebutuhan bangsa di masa depan. Diharapkan dengan belajar sejarah bisa membuat seseorang bisa lebih arif dan bijaksana.
Sehingga pepatah yang mengatakan bahwa "Belajarlah dari Sejarah" tidak sekadar slogan semata. Atau dalam bahasa Taufik Abdullah, seseorang belajar sejarah adalah untuk memahami masa kini dan melihat masa depan. "Jadi bukan semata untuk mempelajari masa lalu saja," ujarnya.
Lebih jauh Azyumardi Azra menjelaskan, sejarah adalah suka dan duka. Sejarah adalah senyum dan tangis. Sejarah adalah selebrasi kejayaan, tapi juga ada keterpurukan. "Di sinilah sejarah sesungguhnya sangat manusiawi. Sejarah -- seperti anak manusia itu sendiri -- selalu penuh cerita suka dan duka, dan karena itu mengakui adanya suka dan duka adalah bagian dari eksistensi manusia itu sendiri," ungkapnya.
Memahami sejarah, lanjut Azyumardi, dengan demikian adalah memahami eksistensi manusia itu sendiri dengan segala kekuatan dan kelemahannya.
Setelah teori-teori baku muncul usai lima tahun konferensi yang lalu, bisa jadi paradigma sejarah juga mengalami perubahan. Berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi oleh bangsa ini, maka konferensi yang diadakan kali ini membahas tema yang agak luas, mencakup persoalan-persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini.
Tema besar yang diangkat pada konferensi yang akan berlangsung hingga 17 November ini adalah "Tepian Ruang dan Waktu: Tantangan Sejarah".
Adapun tema-tema yang akan dibahas diantaranya mengenai teori sejarah, pendekatan dan metodologi, peninggalan sejarah dan kesadaran sejarah, gender dan dinamika sejarah, hingga kesenian sebagai pantulan perubahan sosial.
Sejarah, Memahami Masa Kini dan Melihat Masa Depan
Laporan Wartawan KCM Jodhi Yudono
JAKARTA, KCM - Konferensi Nasional Sejarah VIII yang diselenggarakan di Hotel Milenium, Jakarta, Selasa (14/11), menyajikan dua pembicara inti yakni Prof Dr Taufik Abdullah dan Prof Dr Azyumardi Azra.
Konferensi yang diadakan setiap lima tahun sekali ini merupakan ajang pertemuan dan forum diskusi yang melibatkan para sejarawan, pengamat sejarah, pelaku sejarah, praktisi sejarah, dan pencinta sejarah untuk melakukan evaluasi the state of the art dari ilmu sejarah.
Pada dasarnya tema yang dibahas dalam konferensi ini disesuaikan dengan perkembangan ilmu sejarah, situasi atau keadaan yang sedang dihadapi dan kebutuhan bangsa di masa depan. Diharapkan dengan belajar sejarah bisa membuat seseorang bisa lebih arif dan bijaksana.
Sehingga pepatah yang mengatakan bahwa "Belajarlah dari Sejarah" tidak sekadar slogan semata. Atau dalam bahasa Taufik Abdullah, seseorang belajar sejarah adalah untuk memahami masa kini dan melihat masa depan. "Jadi bukan semata untuk mempelajari masa lalu saja," ujarnya.
Lebih jauh Azyumardi Azra menjelaskan, sejarah adalah suka dan duka. Sejarah adalah senyum dan tangis. Sejarah adalah selebrasi kejayaan, tapi juga ada keterpurukan. "Di sinilah sejarah sesungguhnya sangat manusiawi. Sejarah -- seperti anak manusia itu sendiri -- selalu penuh cerita suka dan duka, dan karena itu mengakui adanya suka dan duka adalah bagian dari eksistensi manusia itu sendiri," ungkapnya.
Memahami sejarah, lanjut Azyumardi, dengan demikian adalah memahami eksistensi manusia itu sendiri dengan segala kekuatan dan kelemahannya.
Setelah teori-teori baku muncul usai lima tahun konferensi yang lalu, bisa jadi paradigma sejarah juga mengalami perubahan. Berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi oleh bangsa ini, maka konferensi yang diadakan kali ini membahas tema yang agak luas, mencakup persoalan-persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini.
Tema besar yang diangkat pada konferensi yang akan berlangsung hingga 17 November ini adalah "Tepian Ruang dan Waktu: Tantangan Sejarah".
Adapun tema-tema yang akan dibahas diantaranya mengenai teori sejarah, pendekatan dan metodologi, peninggalan sejarah dan kesadaran sejarah, gender dan dinamika sejarah, hingga kesenian sebagai pantulan perubahan sosial.
mutu pendidikan
Kompas, Rabu, 15 November 2006, http://www.kompas.com
Mutu Pendidikan Indonesia Terus Turun
PANGKAL PINANG, KOMPAS - Ketiadaan konsep masa depan yang jelas menjadikan mutu pendidikan Indonesia terus mengalami penurunan dalam 60 tahun terakhir. Pergantian kurikulum yang tidak saling berkaitan, termasuk dari kurikulum berbasis kompetensi menjadi kurikulum satuan tingka pendidikan, menunjukkan tidak adanya kesinambungan usaha dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
”Tidak ada benang merah kebijakan sejak menteri pendidikan Ki Hajar Dewantara sampai Malik Fadjar. Pola pendidikan tidak disusun oleh kaum profesional melainkan oleh politisi. Hal itu yang membuat visi pendidikan menjadi tidak jelas dan tidak ada kontinuitas sistem guna mewujudkannya,” kata pakar pendidikan dan guru besar di IKIP PGRI Semarang, Winarno Surakhmad, pada peringatan Hari Guru, Rabu (15/11), di Pangkal Pinang.
Winarno adalah tokoh senior Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang membacakan puisi di depan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengenai karut-marutnya dunia pendidikan sehingga sekolah menjadi seperti kandang ayam, saat ulang tahun PGRI beberapa bulan silam.
Perubahan kurikulum, kata Winarno, terbukti tidak dapat mendongkrak kualitas pendidikan di Indonesia karena justru mematikan daya kritis dan kreativitas siswa. Akibatnya, pendidikan justru kehilangan esensinya karena tidak dapat memberi makna bagi kehidupan siswa.
Menurut Ketua PGRI Pangkal Pinang, Yulizarman, perubahan kurikulum secara terus menerus juga berdampak negatif bagi para guru. Kuriklum yang terus berganti membuat para guru sering kebingungan dalam mengaplikasikannya.
Kebingungan terjadi karena dari setiap sekolah hanya ada dua guru yang ditatar mengenai kurikulum itu. Akibatnya, tidak semua guru mudah memahami kurikulum yang baru. Ketika mereka mulai memahami kurikulum itu seiring berjalannya waktu, kurikulum yang baru segera diluncurkan.
Selain kurikulum yang terus berganti, Winarno juga menyoroti sistem ujian nasional yang hanya berorientasi pada hasil. Kelulusan yang hanya didasarkan pada nilai setelah ujian memicu para guru dan siswa hanya memfokuskan diri pada tiga mata pelajaran demi meraih nilai kelulusan.
Kondisi semacam itu mengabaikan filosofi pendidikan yang pada hakekatnya adalah proses, bukan melulu hasil akhir. Winarno menegaskan, dirinya tidak anti terhadap ujian tetapi tidak setuju jika satu ujian menjadi dasar penentu kelulusan dan alat standarisasi kualitas.
Kualitas pendidikan di setiap daerah tidak dapat disamakan standarnya dengan daerah lain atau dengan Jakarta. Daripada memboroskan anggaran untuk menyamakan standar pendidikan, kata Winarno, lebih baik meningkatkan kapasitas dan kualitas para guru agar dapat meningkatkan kualitas pendidikan bagi para siswa mereka. (ECA)
PANGKAL PINANG, KOMPAS - Ketiadaan konsep masa depan yang jelas menjadikan mutu pendidikan Indonesia terus mengalami penurunan dalam 60 tahun terakhir. Pergantian kurikulum yang tidak saling berkaitan, termasuk dari kurikulum berbasis kompetensi menjadi kurikulum satuan tingka pendidikan, menunjukkan tidak adanya kesinambungan usaha dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
”Tidak ada benang merah kebijakan sejak menteri pendidikan Ki Hajar Dewantara sampai Malik Fadjar. Pola pendidikan tidak disusun oleh kaum profesional melainkan oleh politisi. Hal itu yang membuat visi pendidikan menjadi tidak jelas dan tidak ada kontinuitas sistem guna mewujudkannya,” kata pakar pendidikan dan guru besar di IKIP PGRI Semarang, Winarno Surakhmad, pada peringatan Hari Guru, Rabu (15/11), di Pangkal Pinang.
Winarno adalah tokoh senior Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang membacakan puisi di depan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengenai karut-marutnya dunia pendidikan sehingga sekolah menjadi seperti kandang ayam, saat ulang tahun PGRI beberapa bulan silam.
Perubahan kurikulum, kata Winarno, terbukti tidak dapat mendongkrak kualitas pendidikan di Indonesia karena justru mematikan daya kritis dan kreativitas siswa. Akibatnya, pendidikan justru kehilangan esensinya karena tidak dapat memberi makna bagi kehidupan siswa.
Menurut Ketua PGRI Pangkal Pinang, Yulizarman, perubahan kurikulum secara terus menerus juga berdampak negatif bagi para guru. Kuriklum yang terus berganti membuat para guru sering kebingungan dalam mengaplikasikannya.
Kebingungan terjadi karena dari setiap sekolah hanya ada dua guru yang ditatar mengenai kurikulum itu. Akibatnya, tidak semua guru mudah memahami kurikulum yang baru. Ketika mereka mulai memahami kurikulum itu seiring berjalannya waktu, kurikulum yang baru segera diluncurkan.
Selain kurikulum yang terus berganti, Winarno juga menyoroti sistem ujian nasional yang hanya berorientasi pada hasil. Kelulusan yang hanya didasarkan pada nilai setelah ujian memicu para guru dan siswa hanya memfokuskan diri pada tiga mata pelajaran demi meraih nilai kelulusan.
Kondisi semacam itu mengabaikan filosofi pendidikan yang pada hakekatnya adalah proses, bukan melulu hasil akhir. Winarno menegaskan, dirinya tidak anti terhadap ujian tetapi tidak setuju jika satu ujian menjadi dasar penentu kelulusan dan alat standarisasi kualitas.
Kualitas pendidikan di setiap daerah tidak dapat disamakan standarnya dengan daerah lain atau dengan Jakarta. Daripada memboroskan anggaran untuk menyamakan standar pendidikan, kata Winarno, lebih baik meningkatkan kapasitas dan kualitas para guru agar dapat meningkatkan kualitas pendidikan bagi para siswa mereka. (ECA)