sertifikasi
http://www.kompas.com
Sertifikasi Guru sebaiknya Tidak Diseragamkan
FGII Akan Sampaikan Rekomendasi ke Depdiknas
Jakarta, Kompas - Keterbatasan kapasitas lembaga pendidikan tenaga kependidikan alias LPTK dan keragaman kondisi para guru yang ada membuat sertifikasi guru tidak dapat diseragamkan. Sebaliknya, justru dirasakan perlu berbagai alternatif.
Direktur Eksekutif Asosiasi LPTK Indonesia, Hamid Hasan, hari Kamis (26/1) mengungkapkan bahwa UU Guru dan Dosen mensyaratkan guru berkualifikasi D4 atau S1 untuk bisa mengikuti pendidikan profesi serta di sertifikasi. Hanya saja, kenyataan adanya keberagaman kondisi guru—termasuk kualifikasi dan kompetensi mereka—tidak dapat disangkal. Di sisi lain, kapasitas LPTK tidak sebanding dengan jumlah guru yang ada, yang mencapai 2,6 juta orang.
”Oleh karena itu, ada baiknya pemerintah tidak menyeragamkan pensertifikasian para guru, melainkan membuat berbagai alternatif agar menghemat waktu dan biaya,” ujarnya.
Guru yang telah berkualifikasi D4 atau S1 dan memiliki akta mengajar, misalnya, cukup dilakukan penilaian melalui portofolionya. Sebut saja semacam akreditasi kinerja dan dilihat kemampuan mereka membuat persiapan mengajar sampai mengevaluasi peserta didik. Mereka tidak perlu lagi ikut pendidikan profesi atau uji untuk sertifikasi.
Adapun bagi mereka yang sudah berpengalaman lama mengajar, bahkan sampai puluhan tahun, meski belum memenuhi kualifikasi—misalnya hanya lulusan SPG atau D1—juga cukup dinilai portofolio kinerjanya selama ini. ”Lalu diberikan sertifikat pendidik, terutama mereka yang sudah berusia mendekati pensiun,” ujarnya.
Jika jasa dan kompetensi mereka tidak diakui, maka sulit sekali bagi negara untuk mempertanggungjawabkannya secara politis. ”Kalau kemampuan mereka tidak diakui negara, nanti masyarakat bisa bertanya-tanya, kenapa tugas mendidik anak bangsa selama ini diberikan kepada orang-orang yang dianggap tidak kompeten?” katanya.
Di tengah keterbatasan kapasitas LPTK untuk memberikan pendidikan profesi, Hamid mengusulkan agar LPTK diberi kesempatan melaksanakan pendidikan jarak jauh tanpa menghilangkan unsur tatap muka. Dalam waktu tertentu, seperti ketika libur panjang sekolah, para peserta pendidikan jarak jauh dapat dikumpulkan untuk tatap muka secara intensif. Model tersebut, menurutnya, memungkinkan dan telah ada negara yang menjalaninya, yakni Australia.
Jangan pemborosan
Secara terpisah, Sekjen Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Iwan Hermawan mengatakan, FGII dalam waktu dekat akan memberikan rekomendasi kepada Depdiknas terkait sertifikasi guru. Isu tersebut akan dibawa dalam Rapat Kerja Nasional FGII di Bandar Lampung pada 28-29 Januari 2006. Dia mengatakan, guru yang belum punya akta mengajar dan para calon guru di LPTK dapat diwajibkan ikut pendidikan profesi agar mendapatkan sertifikat profesi.
”Namun, FGII berharap guru yang sudah punya akta mengajar tidak perlu lagi mengikuti pendidikan profesi tetapi cukup uji kompetensi. Yang punya akta mengajar itu sudah menjalani mata kuliah dasar keguruan sehingga cukup diuji kompetensinya untuk mendapatkan sertifikat pendidik,” katanya.
Adapun bagi guru yang sudah mempunyai masa kerja lama, bahkan mendekati usia pensiun, tetapi belum memenuhi kualifikasi D4 dan S1 dihargai keahliannya dan cukup dengan uji kompetensi untuk mendapatkan sertifikat pendidik. Jangan mereka ditahan-tahan sehingga tidak mendapatkan sertifikat pendidik. Lalu, ujung-ujungnya tidak dapat tunjangan profesi padahal sudah lama mengabdi.
”Kalau ada yang tidak lulus, diperbolehkan mengikuti remedial dan atau dibina lagi. Tetapi, saya yakin secara pedagogis guru yang berpengalaman sudah memadai. Hanya saja barangkali kompetensi lain seperti kompetensi sosial yang kurang karena setelah menjadi guru malah tidak belajar,” kata Iwan.
Berpegang pada pandangan bahwa pendidikan itu sepanjang hayat, pemerintah dapat mendorong dan membantu mereka untuk terus meningkatkan kualifikasi pendidikannya. ”Kami pikir kalau meneruskan pendidikan juga tidak rugi sekalipun menjelang pensiun,” katanya. (INE)
Sertifikasi Guru sebaiknya Tidak Diseragamkan
FGII Akan Sampaikan Rekomendasi ke Depdiknas
Jakarta, Kompas - Keterbatasan kapasitas lembaga pendidikan tenaga kependidikan alias LPTK dan keragaman kondisi para guru yang ada membuat sertifikasi guru tidak dapat diseragamkan. Sebaliknya, justru dirasakan perlu berbagai alternatif.
Direktur Eksekutif Asosiasi LPTK Indonesia, Hamid Hasan, hari Kamis (26/1) mengungkapkan bahwa UU Guru dan Dosen mensyaratkan guru berkualifikasi D4 atau S1 untuk bisa mengikuti pendidikan profesi serta di sertifikasi. Hanya saja, kenyataan adanya keberagaman kondisi guru—termasuk kualifikasi dan kompetensi mereka—tidak dapat disangkal. Di sisi lain, kapasitas LPTK tidak sebanding dengan jumlah guru yang ada, yang mencapai 2,6 juta orang.
”Oleh karena itu, ada baiknya pemerintah tidak menyeragamkan pensertifikasian para guru, melainkan membuat berbagai alternatif agar menghemat waktu dan biaya,” ujarnya.
Guru yang telah berkualifikasi D4 atau S1 dan memiliki akta mengajar, misalnya, cukup dilakukan penilaian melalui portofolionya. Sebut saja semacam akreditasi kinerja dan dilihat kemampuan mereka membuat persiapan mengajar sampai mengevaluasi peserta didik. Mereka tidak perlu lagi ikut pendidikan profesi atau uji untuk sertifikasi.
Adapun bagi mereka yang sudah berpengalaman lama mengajar, bahkan sampai puluhan tahun, meski belum memenuhi kualifikasi—misalnya hanya lulusan SPG atau D1—juga cukup dinilai portofolio kinerjanya selama ini. ”Lalu diberikan sertifikat pendidik, terutama mereka yang sudah berusia mendekati pensiun,” ujarnya.
Jika jasa dan kompetensi mereka tidak diakui, maka sulit sekali bagi negara untuk mempertanggungjawabkannya secara politis. ”Kalau kemampuan mereka tidak diakui negara, nanti masyarakat bisa bertanya-tanya, kenapa tugas mendidik anak bangsa selama ini diberikan kepada orang-orang yang dianggap tidak kompeten?” katanya.
Di tengah keterbatasan kapasitas LPTK untuk memberikan pendidikan profesi, Hamid mengusulkan agar LPTK diberi kesempatan melaksanakan pendidikan jarak jauh tanpa menghilangkan unsur tatap muka. Dalam waktu tertentu, seperti ketika libur panjang sekolah, para peserta pendidikan jarak jauh dapat dikumpulkan untuk tatap muka secara intensif. Model tersebut, menurutnya, memungkinkan dan telah ada negara yang menjalaninya, yakni Australia.
Jangan pemborosan
Secara terpisah, Sekjen Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Iwan Hermawan mengatakan, FGII dalam waktu dekat akan memberikan rekomendasi kepada Depdiknas terkait sertifikasi guru. Isu tersebut akan dibawa dalam Rapat Kerja Nasional FGII di Bandar Lampung pada 28-29 Januari 2006. Dia mengatakan, guru yang belum punya akta mengajar dan para calon guru di LPTK dapat diwajibkan ikut pendidikan profesi agar mendapatkan sertifikat profesi.
”Namun, FGII berharap guru yang sudah punya akta mengajar tidak perlu lagi mengikuti pendidikan profesi tetapi cukup uji kompetensi. Yang punya akta mengajar itu sudah menjalani mata kuliah dasar keguruan sehingga cukup diuji kompetensinya untuk mendapatkan sertifikat pendidik,” katanya.
Adapun bagi guru yang sudah mempunyai masa kerja lama, bahkan mendekati usia pensiun, tetapi belum memenuhi kualifikasi D4 dan S1 dihargai keahliannya dan cukup dengan uji kompetensi untuk mendapatkan sertifikat pendidik. Jangan mereka ditahan-tahan sehingga tidak mendapatkan sertifikat pendidik. Lalu, ujung-ujungnya tidak dapat tunjangan profesi padahal sudah lama mengabdi.
”Kalau ada yang tidak lulus, diperbolehkan mengikuti remedial dan atau dibina lagi. Tetapi, saya yakin secara pedagogis guru yang berpengalaman sudah memadai. Hanya saja barangkali kompetensi lain seperti kompetensi sosial yang kurang karena setelah menjadi guru malah tidak belajar,” kata Iwan.
Berpegang pada pandangan bahwa pendidikan itu sepanjang hayat, pemerintah dapat mendorong dan membantu mereka untuk terus meningkatkan kualifikasi pendidikannya. ”Kami pikir kalau meneruskan pendidikan juga tidak rugi sekalipun menjelang pensiun,” katanya. (INE)
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda