Kamis, 13 September 2007

mutu pendidikan

Kompas, Rabu, 15 November 2006, http://www.kompas.com
Mutu Pendidikan Indonesia Terus Turun

PANGKAL PINANG, KOMPAS - Ketiadaan konsep masa depan yang jelas menjadikan mutu pendidikan Indonesia terus mengalami penurunan dalam 60 tahun terakhir. Pergantian kurikulum yang tidak saling berkaitan, termasuk dari kurikulum berbasis kompetensi menjadi kurikulum satuan tingka pendidikan, menunjukkan tidak adanya kesinambungan usaha dalam meningkatkan kualitas pendidikan.

”Tidak ada benang merah kebijakan sejak menteri pendidikan Ki Hajar Dewantara sampai Malik Fadjar. Pola pendidikan tidak disusun oleh kaum profesional melainkan oleh politisi. Hal itu yang membuat visi pendidikan menjadi tidak jelas dan tidak ada kontinuitas sistem guna mewujudkannya,” kata pakar pendidikan dan guru besar di IKIP PGRI Semarang, Winarno Surakhmad, pada peringatan Hari Guru, Rabu (15/11), di Pangkal Pinang.

Winarno adalah tokoh senior Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang membacakan puisi di depan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengenai karut-marutnya dunia pendidikan sehingga sekolah menjadi seperti kandang ayam, saat ulang tahun PGRI beberapa bulan silam.

Perubahan kurikulum, kata Winarno, terbukti tidak dapat mendongkrak kualitas pendidikan di Indonesia karena justru mematikan daya kritis dan kreativitas siswa. Akibatnya, pendidikan justru kehilangan esensinya karena tidak dapat memberi makna bagi kehidupan siswa.

Menurut Ketua PGRI Pangkal Pinang, Yulizarman, perubahan kurikulum secara terus menerus juga berdampak negatif bagi para guru. Kuriklum yang terus berganti membuat para guru sering kebingungan dalam mengaplikasikannya.

Kebingungan terjadi karena dari setiap sekolah hanya ada dua guru yang ditatar mengenai kurikulum itu. Akibatnya, tidak semua guru mudah memahami kurikulum yang baru. Ketika mereka mulai memahami kurikulum itu seiring berjalannya waktu, kurikulum yang baru segera diluncurkan.

Selain kurikulum yang terus berganti, Winarno juga menyoroti sistem ujian nasional yang hanya berorientasi pada hasil. Kelulusan yang hanya didasarkan pada nilai setelah ujian memicu para guru dan siswa hanya memfokuskan diri pada tiga mata pelajaran demi meraih nilai kelulusan.

Kondisi semacam itu mengabaikan filosofi pendidikan yang pada hakekatnya adalah proses, bukan melulu hasil akhir. Winarno menegaskan, dirinya tidak anti terhadap ujian tetapi tidak setuju jika satu ujian menjadi dasar penentu kelulusan dan alat standarisasi kualitas.

Kualitas pendidikan di setiap daerah tidak dapat disamakan standarnya dengan daerah lain atau dengan Jakarta. Daripada memboroskan anggaran untuk menyamakan standar pendidikan, kata Winarno, lebih baik meningkatkan kapasitas dan kualitas para guru agar dapat meningkatkan kualitas pendidikan bagi para siswa mereka. (ECA)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda