Kamis, 06 September 2007

solidaritas bangsa

SEPUTAR INDONESIA, Selasa, 8 Agustus 2006
Saatnya Merajut Solidaritas yang Hilang

Oleh UMI NUR FATIHATUL JANNAH AR, S. Fil. I.
Relawan untuk masyarakat terkena gempa Jateng-DIY

Hanya ada satu ungkapan untuk bencana demi bencana di negeri ini, “Bumi pertiwi murka dengan ulah manusia”. Para korban bencana di Aceh belum sembuh dari stres traumatik akibat gempa berkekuatan 8,9 skala Richter yang meluluhlantakkan rumah, bangunan dan menghilangkan ribuan nyawa manusia, bumi kita tak henti-hentinya diterpa musibah bencana yang mengerikan.
Pada 27 Mei 2006, gempa kembali mengguncang Yogyakarta dan sekitanya. Gempa tektonik berskala 5,9 skala Richter itu seakan memecah perhatian masyarakat (khususnya Yogyakarta dan Klaten), di saat mereka siaga mengantisipasi awan panas dari Gunung Merapi, yang menandakan gunung itu akan segera meletus.
Di saat masyarakat, LSM, dan Pemerintah sibuk mencari bantuan untuk para korban gempa itulah, lumpur panas menggenangi sebagian kawasan Sidoarjo hingga melumpuhkan aktifitas ekonomi di sebagian wilayah Jawa Timur. Sementara di Sulawesi Selatan (20/6/2006), banjir bandang melanda empat Kabupaten: Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, dan Sinjai, yang mengakibatkan ratusan orang tewas dan hilang.
Ini belum termasuk bencana longsor di tempat pembuangan akhir sampah Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat (21/2/2005), gempa di Nias, Sumatera Utara, dan meningkatnya aktivitas Gunung Merapi yang meresahkan masyarakat yang dtinggal di sekitarnya.
Tetapi anehnya, bencana yang menghancurkan sebagian wilayah di negeri ini ternyata tetap tidak membuat mereka yang selamat (terutama para pemimpin dan pejabat negara) insyaf dan menyadari kemarahan alam. Terbukti, proses penyaluran bantuan untuk para korban di Aceh menyisakan masalah: bantuan dikorupsi, dipolitisir, dan masyarakat korban bencana dimanipulasi.
Di lokasi bencana di Klaten dan Yogyakarta, kita menyaksikan berbagai bendera partai, LSM, dan bendera-bendera lain, seakan ingin menunjukkan kepada para korban, bahwa mereka adalah para pahlawan. Sedangkan para korban adalah “orang lain” (the other) yang meminta dan butuh belaskasihan. Artinya, membantu karena ingin dilihat publik, dengan kepentingan politik tertentu. Juga terjadi penjarahan dan pencurian terhadap barang-barang milik korban.
Ada juga, di antara kita, yang tega mencari “berkah” dari bencana yang menimpa saudara sendiri, menjadikan peristiwa memilukan itu sebagai komoditas untuk kekayaan pribadi. Pendeknya, bencana dijadikan sebagai proyek untuk mencari keuntungan.
Bila demikian, masih pantaskah kita disebut sebagai bangsa yang satu? Bangsa yang berkabung apabila saudaranya menderita? Lalu, di mana rasa solidaritas kita sebagai bangsa yang satu?
Tekad menjadi bangsa yang satu ternyata hanya setengah hati, pura-pura. Ini terbukti, kita sering lebih mengutamakan kepentingan pribadi ketimbang kepentingan bersama. Yang berkuasa, misalnya, asalkan menguntungkan dirinya, dia tidak peduli dengan resiko yang harus ditanggung orang bayak: mengeruk pasir, menggempur gunung, dan lain-lain. Tetapi percayalah, hanya dengan rasa solidaritas dan kesetiaan, kita akan mampu keluar dari jeratan masalah yang tidak berujung ini.
Oleh karena itu, kita tidak membantu saudara kita yang terkena bencana kecuali karena mereka adalah bagian dari kita. Kita tidak pernah menjadi orang lain, partai lain, dan siapa pun ketika menolong yang kena musibah. Dan di lokasi bencana hanya ada satu, kita semua berduka karena dilanda bencana yang meluluhlantakkan bagian dari negeri ini.
Dengan semangat kesatuan dan rasa solidaritas itu pula, kita akan mampu bangkit dan membangun kembali puing-puing negeri ini.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda